Daya Tarik Semiotika


Kalau mau jujur, sedikit saja ancangan/teori/metode atau disiplin ilmiah yang menarik bagi banyak kalangan. Ambil contoh psikologi; tentu saja, psikologi menarik bagi mereka yang belajar psikologi atau disiplinnya bersinggungan langsung dengan ilmu itu. Namun, psikologi tetap saja sesuatu yang tidak terlalu menarik bagi, misalnya, mereka yang belajar biologi. Atau ilmu sastra; ilmu ini hanya menarik bagi pembelajar ilmu sastra. Bagi pembelajar antropologi, ilmu sastra sesuatu yang barangkali membosankan. Dalam hal ini, peribahasa “rumput di halaman tetangga lebih hijau” tidak berlaku.

Di sinilah semiotika unggul. Sebab semiotika menarik bagi semua disiplin ilmu. Bagaimana mungkin? Setidak-tidaknya ada dua hal yang menyebabkan semiotika menarik bagi siapapun. Pertama, faktanya adalah telah terbukti semiotika memiliki wilayah kajian aplikatif yang mencakup semua disiplin. Mudah-mudahan seluruh semiotika terapan itu akan saya tuliskan dalam salah satu artikel di blog ini. Setakat ini cukuplah kiranya disebutkan beberapa, antara lain biologi, arsitektur, kedokteran, sosiologi, linguistik, ilmu sastra, antropologi, psikologi, psikoanalisis, kajian media, komunikasi.

Kedua, hakikat semiotika sebagai ilmu yang menelaah produksi dan interpretasi tanda membuatnya sudah menarik sejak awal. Hakikat itu membawa semiotika pada pemahaman bahwa sesuatu yang disebut realitas itu tidak lain dari representasi. Artinya, realitas selalu merupakan versi seseorang atau suatu lembaga mengenai perkara yang tersaji sebagai realitas itu. Pada gilirannya, bisa kita pahami bila semiotika mengatakan bahwa apa yang dianggap realitas bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain.

Dengan kata lain, semiotika menyadarkan kita bahwa tanda yang dipakai untuk merepresentasi sesuatu senantiasa rentan terhadap manipulasi dan rekayasa. Contoh paling gampang dan kasar ialah iklan. Bila obat X diiklankan sanggup mengobati berbagai jenis penyakit, hal itu hanya suatu ikhtiar representasi, belum menjadi kenyataan sejati. Iklan itu bisa bohong belaka sebagaimana didefinisikan oleh Umberto Eco mengenai hakikat tanda.

Dalam contoh tadi saya memakai kata “kasar”. Maksudnya, iklan semacam itu sangat mudah diblejeti kebohongannya (jika memang begitu). Celakanya, sangat banyak produksi tanda (alias representasi) yang secara sangat halus bisa mengecoh. Tak terbilang iklan televisi atau cetak yang tidak menyebutkan sama sekali kehebatan produknya, tetapi hanya menyajikan gambar dan/atau tulisan yang memikat, lucu, dan logis. Justru dengan daya pikat itu, kelucuan itu, iklan tersebut sanggup menjerat konsumen untuk memiliki sikap yang sejalan dengan maksud produsen. Bujuk rayu halus seperti itu jauh lebih mujarab ketimbang iklan yang jelas-jelasan.

Begitulah, dengan berbekal semiotika kita bisa “melawan” representasi apapun, menguraikannya hingga rinci, untuk menguasai tanda alih-alih dikuasai tanda.

(Artikel pindahan dari blog saya pengantar-semiotika.blogspot.com)

Apakah Semiotika?


Singkat kata, semiotika itu ilmu yang mempelajari tanda.

Orang Indonesia mestinya suka semiotika karena budaya kita sangat sering menggunakan tanda. Kalau mimpi gigi tanggal, itu ditafsirkan akan ada keluarga wafat. Gigi yang tanggal itu dianggap tanda kematian. Banyak peristiwa yang oleh orang Indonesia diberi tafsiran sehingga peristiwa itu menjadi tanda; suara burung hantu di malam hari, rasa gatal di tangan, atau mata yang berdenyut dianggap tanda dengan makna tertentu. Malahan penggemar togel menggunakan juga tanda untuk menebak nomor yang bakal keluar (mereka bahkan punya buku primbon mimpi lengkap dengan artinya).

Tanda memang ada di mana-mana. Dalam mimpi ada tanda (paling tidak begitu kata Freud). Begitu bangun tidur kita sudah ketemu tanda (jam dinding, kokok ayam, air liur yang nempel di bantal, belek, seprei yang kusut, dentingan dari dapur). Setelah mandi kembali kita ketemu tanda (celana, baju, sepatu, pena, buku, koran, dering telepon, berita teve/radio). Di tempat kerja juga banyak sekali tanda (debu di meja, sejawat yang datang dengan motor alih-alih mobil yang biasa ia kendarai, atasan yang belum juga senyum, kopi yang terlalu manis, seorang rekan kerja tidak ngantor). Saat istirahat siang, lagi-lagi kita menemukan tanda (menu kesenangan Anda tidak ada, pengamen yang kelewat banyak, rambu-rambu lampu merah tidak nyala, sirine rombongan pejabat, seorang gadis cantik sibuk menceti tombol komunikator, pasangan Anda kirim sms mengingatkan acara nanti malam). Pokoknya, kita tidak bisa lepas dari tanda.

Sebab tanda adalah segala sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Ambil contoh sms pasangan Anda yang mengingatkan bahwa nanti malam Anda berdua janjian nonton: "Bang, ntar malem jgn lupa ya". Sms itu bisa jadi tanda bahwa Anda mungkin lupa dan peringatan itu bukan tanpa alasan. Barangkali Anda pelupa atau pernah lupa janji atau filmnya sangat menarik bagi pasangan Anda.

Pengertian tanda seperti itu dikatakan oleh Charles Sanders Peirce, satu dari dua pelopor semiotika modern. Selengkapnya ia mengatakan tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang merujuk pada sesuatu yang lain berdasarkan landasan tertentu.

Yang lebih menarik ialah definisi tanda menurut Umberto Eco. Menurut Eco tanda adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Definisi yang menarik, kan? Andaikan pacar Anda berkata, "Aku sayang banget sama kamu." Kalimat itu mungkin ungkapan hati yang jujur, tapi bisa juga itu cuma rayuan gombal alias bo'ong besar. Sebagai sebuah tanda, kalimat tadi bisa dipakai untuk berbohong.

Hampir semua tanda memang dapat dipakai untuk menyembunyikan kebenaran. Hampir semua? Ya, karena ada sejenis tanda yang rasanya mustahil direkayasa. Tanda itu disebut simptom, yaitu gejala biologis yang ditampakkan tubuh manusia. Bercak merah dan berak-berak bisa jadi simptom demam berdarah.

Karena kita senantiasa hidup dalam lautan tanda, memahami seluk-beluk tanda sangat bermanfaat. Dan karena tanda ada di mana-mana, apapun profesi yang anda geluti, pemahaman tentang semiotika bakal membantu Anda menguakkan tabir tanda. Ya, dengan semiotika Anda bisa menyibakkan makna sebenarnya yang terletak di balik tanda. Paling tidak, Anda tahu sekarang bahwa setiap saat Anda bisa dibohongi dan ditipu. Simaklah baik-baik tanda yang sengaja atau tidak sengaja dibuat orang berinteaksi dengan Anda. Paling tidak itulah manfaat belajar semiotika bagi kehidupan sehari-hari kita.

(Artikel ini saya pindahkan dari blog lain yang saya miliki, yaitu pengantar-semiotika.blogspot.com.)