Intertekstualitas dalam Iklan
Salah satu konsep dalam semiotika adalah intertekstualitas. Intinya, suatu teks yang kita baca menautkan dirinya dengan teks lain. Teks lain itu bisa sangat penting atau cukup penting atau kurang penting untuk memahami teks yang sedang kita baca. Iklan di atas memanfaatkan intertekstualitas. Kira-kira, teks yang lain itu sangat atau cukup atau kurang penting untuk memaknai iklan itu? Yang dimaksud dengan teks, tentu saja, tidak harus teks verbal, tetapi juga teks dengan medium lain.
Unsur-unsur Semiotika
Salah seorang tokoh semiotika adalah Roland Barthes, akademisi Perancis yang tewas karena terlanggar mobil. Beliau banyak menulis buku dan artikel (yang belakangan diterbitkan juga sebagai buku). Salah satu bukunya yang sudah menjadi rujukan klasik adalah Elements of Semiology (terjemahannya dalam bahasa Inggris; aslinya--tentu saja--dalam bahasa Perancis).
Buku-buku Barthes sudah lumayan banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Mudah-mudahan hal itu membantu kemajuan studi ilmu-ilmu budaya dan/ atau humaniora Indonesia.
Buku Elemen-elemen Semiologi sendiri dipublikasikan, bagi saya, tanpa pertimbangan lain selain keinginan agar dapat dibaca oleh banyak orang.
Sekadar saran: Lebih gampang memahami Elemen-elemen Semiologi kalau sudah membaca Pengantar Linguistik Umum Ferdinand de Saussure.
Buku-buku Barthes sudah lumayan banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Mudah-mudahan hal itu membantu kemajuan studi ilmu-ilmu budaya dan/ atau humaniora Indonesia.
Buku Elemen-elemen Semiologi sendiri dipublikasikan, bagi saya, tanpa pertimbangan lain selain keinginan agar dapat dibaca oleh banyak orang.
Sekadar saran: Lebih gampang memahami Elemen-elemen Semiologi kalau sudah membaca Pengantar Linguistik Umum Ferdinand de Saussure.
1. PENDAHULUAN
If you go into a bookshop and ask
them where to find a book on semiotics you are likely to meet with a blank
look.
(Daniel Chandler)
Daniel Chandler benar. Seperti ia katakan, tanyakan
buku semiotika di sembarang toko buku; Anda akan dijawab dengan pertanyaan yang
diucapkan dengan muka bingung, “Semiotika?” Maka, seperti sarannya, lebih baik
tidak bertanya; cari sendiri saja. Akan Anda cari di rak mana? Soalnya, buku
semiotika bisa ditaruh di rak manapun. Beruntung jika tersedia komputer berisi
data buku, termasuk keterangan di rak nomor berapa mereka menaruh buku yang
Anda cari. Masalah Anda selesai.
Kenyataannya memang semiotika tidak banyak diketahui
orang awam. Tidak banyak mahasiswa—bahkan dosen—tahu apa itu semiotika. Lebih
parah dari itu, mendengar kata semiotika pun barangkali mereka belum pernah.
Sampai saat buku ini ditulis, semiotika dikenal di lingkungan yang cukup terbatas.
Bandingkan, misalnya, dengan sosiologi, yang siswa sekolah menengah pun
mengetahuinya.
Kenyataan itu menjadi suatu paradoks karena
sesungguhnya semiotika dapat diterapkan di semua disiplin ilmu. Bahkan kerap
dikatakan bahwa semiotika itu bersifat imperialis karena dapat memasuki bidang
ilmu apa saja. Lebih jauh, dalam pengantar untuk salah satu bukunya, John Deely
(1990:ix) mencatat bahwa terjadi peningkatan minat untuk melaksanakan
penelitian semiotika. Bilamana keadaan seperti itu terjadi hampir seperempat
abad lalu, tentunya saat ini—pertengahan Oktober 2014—perkembangan semiotika di
kalangan akademis sudah jauh melampauinya.
1.1 Pengertian Semiotika
Pertanyaan tentang apakah semiotika itu dapat
dijawab dengan sangat singkat bahwa ia adalah ilmu yang mempelajari tanda.
Kegiatan yang dilakukan dengan semiotika memang tertuju pada tanda. Bilamana
kita memandang sesuatu sebagai tanda, kita mengenakan kacamata semiotika. Akan
tetapi, jawaban singkat itu, karena singkatnya, memunculkan pertanyaan susulan,
yaitu apakah yang dimaksud dengan tanda.
Pertanyaan itu belum akan dijawab tuntas dalam bab
ini. Pengertian tanda akan dipaparkan dalam bab berikutnya. Bab yang sedang
Anda baca ini akan berbicara sedikit saja mengenai apa itu tanda demi membawa
Anda masuk ke gerbang semiotika.
Nah, apakah tanda? Secara umum dapat dikatakan bahwa
tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain; tanda mengacu pada
sesuatu yang lain. Awan gelap menjadi
tanda untuk hujan yang segera turun; lampu
merah di rambu-rambu lalu lintas berarti Anda harus menginjak pedal rem;
dan kata kursi mewakili objek yang lazim
kita duduki. Dalam arti itu, seorang duta besar adalah juga tanda karena dia
mewakili negaranya.
Setiap hari kita bisa menemukan tanda—dalam jumlah
banyak. Sejak bangun tidur sampai dengan naik ke pembaringan pada malamnya.
Alarm yang berbunyi pada pagi hari mengisyaratkan bahwa hari sudah pukul 6.00
WIB, misalnya. Bunyi klakson kendaraan di belakang Anda dalam perjalanan ke
sekolah, kampus, atau kantor, mewakili pesan tertentu dari pengendaranya.
Bendera kertas kuning yang Anda lewati memberi tahu ada orang wafat di situ.
Sepanjang perjalanan tanda bergiliran menyapa Anda. Pada waktu terlelap di
ranjang pun, kita bisa bersentuhan dengan tanda. Bukankah acapkali kita
menafsirkan mimpi? Mimpi tanggal gigi diartikan akan ada sanak keluarga
meninggal dunia. Demikianlah, tanda ada di mana-mana dan dalam wujud yang
beragam.
Benda-benda yang disikapi sebagai tanda itu merupakan
objek kajian semiotika. Perhatikan bahwa semua tanda yang tadi disebutkan,
ditemukan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu ketika kita
berinteraksi dengan orang lain di dalam masyarakat, secara langsung dan tidak
langsung; paling tidak, sebagian paling besarnya terdapat dalam interaksi
sosial. Bendera kuning tadi, misalnya, mengisyaratkan kepada siapa pun yang melihatnya
bahwa seorang anggota masyarakat di situ sudah dipanggil Yang Mahakuasa.
Masyarakat di situ dapat berkunjung untuk mengungkapkan belasungkawa dan
simpati; bahkan memberikan bantuan uang dan/ atau tenaga kepada keluarga yang
mendapat musibah.
Memang, terdapat segolongan tanda yang tergolong
prasosial, yakni tanda-tanda yang kita dapati dalam mimpi. Dalam hal ini, tanda
prasosial itu lebih disikapi sebagai tanda yang tidak pertama-tama
menghubungkan kita dengan orang lain dalam konteks sosial. Tanda-tanda serupa
itu dipandang sebagai fenomena semiotis yang personal—bagian dari suatu
psikologi pribadi. Ia menghubungkan dua hal di dalam diri seorang individu.
Namun, terlepas dari tanda yang berada di wilayah psikologi pribadi
itu—begitulah kira-kira jenis tanda itu bisa dikategorikan, seumumnya tanda memiliki
kodrat sosial.
Oleh fakta itu, sangat beralasan pandangan Ferdinand
de Saussure mengenai semiologi (istilah semiotika dan semiologi kita pergunakan
dalam pengertian yang sama). Menurut Saussure, semiotika adalah ilmu yang
menelaah peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial; ilmu ini meneliti
hakikat tanda dan hukum yang mengatur tanda (Saussure,1993:82). Jelas bahwa
Saussure melihat tanda sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial
manusia. Di dalam latar kehidupan sosial itu, tanda menjalankan perannya.
Dengan kata lain, tanda memiliki fungsi dan makna sosial. Melanjutkan logika
itu, masuk akal bilamana kita katakan bahwa semiotika, yang mempelajari tanda
sebagaimana baru saja dipaparkan, memiliki juga fungsi dan makna sosial.
Tentu saja, Ferdinand de Saussure bukan satu-satunya
orang yang pernah merumuskan definisi mengenai semiotika (atau semiologi).
Sesungguhnyalah, terdapat banyak definisi tentang semiotika. Bukan hanya banyak
jumlahnya, melainkan juga beragam. Kita tidak dapat menelusuri seluruh definisi
semiotika, yang bermacam-macam itu. Lebih baik kita pelajari beberapa definisi
yang kiranya telah disepakati secara umum. Salah satu di antaranya sudah
dipaparkan, yaitu penjelasan Saussure tentang semiotika tadi.
Ahli semiotika lain, yang muncul lebih kemudian dari
Saussure, yang juga mengajukan definisi semiotika adalah Umberto Eco. Bagi Eco,
semiotika menelaah segala sesuatu yang dapat ditanggapi sebagai tanda. Definisi
itu hampir tidak berbeda dengan definisi singkat mengenai semiotika di awal bab
ini (semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda). Namun, ada perbedaan
penting. Eco menekankan peran subjek yang memberikan tanggapan terhadap sesuatu
sehingga sesuatu itu menjadi tanda, bukan lagi objek yang tanpa arti.
Ambil contoh berikut ini. Di halaman terlihat daun
kering tersebar di bawah pohon rambutan. Pemandangan itu dapat saja ditanggapi
secara alamiah. Jika hal itu dilakukan, Anda bisa membatin, “Oh, hari ini
banyak daun kering.” Selesai. Akan tetapi, jika Anda melihat dedaunan kuning
tua itu sebagai mewakili sesuatu yang lain, ia menjadi tanda. Misalnya, mungkin
Anda berpikir, “Ah, si Joko mangkir hari ini. Kalau tidak, pasti halaman bersih
dari dedaunan kering itu.” Di sini Anda menanggapi daun kering itu sebagai
sebuah tanda bahwa Joko, petugas kebersihan, tidak masuk kerja. Perhatikanlah
betapa dedaunan kering itu dapat merupakan fakta objektif belaka, tetapi dapat
pula menjadi fakta semiotis; hal itu sepenuhnya bergantung pada Anda, apakah
akan melihatnya sebagai objek belaka atau sebagai tanda.
Jika kita menanggalkan faktor manusia dalam definisi
semiotika, pemahaman kita tentang hakikat semiotika lantas bergantung pada
konsep tanda. Maksudnya, jika kita mendefinisikan semiotika secara singkat,
seperti sudah kita lakukan (semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda),
kita terpaksa memindahkan titik perhatian kepada konsep tanda. Versi lain untuk
mendefinisikan semiotika diajukan oleh Sean Hall (2007:5), yang menyatakan
semiotika adalah teori tanda. Hall tidak menguraikan lebih jauh definisinya
selain mengikutinya dengan informasi mengenai istilah semiotika, yang berasal
dari bahasa Yunani semeitikos ‘para
penafsir tanda’. Dengan definisi ini pemahaman kita tentang semiotika
ditunda—hal itu pula yang dilakukan oleh Hall. Nyatanya, bagian selanjutnya
dalam buku Hall memang membahas tanda, bukan pengertian semiotika.
Jelaslah bahwa definisi semiotika mau tak mau
bertumpu pada tanda beserta definisinya. Bahwa tanda merupakan tumpuan untuk
memahami semiotika tampak dari cara Thomas A. Sebeok—nama besar lain dalam
semiotika—menyatakan apa itu semiotika.
Sebeok (2001:3) mengatakan bahwa tanda memungkinkan
manusia (1) mengisyaratkan keberadaannya, (2) mengomunikasikan pesan, dan
(3) membangun model pada informasi yang diperolehnya dari dunia eksternal.
Selanjutnya, beliau menyatakan “semiotika adalah ilmu yang mempelajari
fungsi-fungsi itu”. Tampak betapa Sebeok mengemukakan definisinya dengan titik
tolak tanda beserta fungsi-fungsinya.
Sebagaimana akan diuraikan dalam bab mengenai tanda dan
jenis tanda, definisi semiotika sangat bergantung pada pandangan tentang
hakikat tanda dan seluk-beluk jenis tanda. Sehubungan dengan hal itu, Eco (1976:8—9, 14—16)
membedakan dua macam semiotika, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika
signifikasi. Kita membutuhkan pembedaan itu karena penggunaan tanda—disebut
semiosis—memang terpola ke dalam dua proses yang berbeda satu sama lain.
Pembedaan
semiotika yang diajukan oleh Umberto Eco itu didasarkan pada jenis tanda. Kita
akan menguraikan masalah jenis tanda dalam bab terpisah. Di sini cukup
dinyatakan bahwa terdapat dua jenis tanda, yang masing-masing mendasari
semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Pertama, terdapat segolongan
tanda yang memang diniatkan oleh penggunanya sebagai piranti untuk berkomunikasi.
Hal ini terjadi ketika kita menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi
tertentu kepada orang lain. Pada saat seseorang berkata: “Saya mau ke pasar”,
ia berniat untuk memberi tahu kepada lawan bicaranya bahwa ia ingin pergi ke
pasar. Kalimat itu merupakan tanda yang disengaja sebagai piranti berkomunikasi
secara disadari. Semiotika yang menelaah penggunaan tanda (semiosis) seperti
itu disebut semiotika komunikasi.
Selain
golongan tanda yang mendasari semiotika komunikasi, terdapat pula segolongan
tanda lain yang sesungguhnya tidak diniatkan untuk berkomunikasi. Golongan
tanda ini mendasari semiotika signifikasi. Dalam semiotika signifikasi,
sebagaimana sudah dikatakan, tanda hadir tanpa diawali oleh adanya niat untuk
berkomunikasi. Dalam hal ini, sesuatu menjadi tanda karena penerima tanda
menganggapannya sebagai tanda. Karena seseorang (atau sekelompok orang)
menganggap sesuatu sebagai tanda, terjadilah signifikasi atau penandaan atau
semiosis. Kabut asap yang kerap menyelimuti beberapa kota di Indonesia bisa
dijadikan contoh. Para pembakar hutan, yang mengakibatkan serbuan asap itu,
tentu tidak bermaksud menyebarkan asap sebagai piranti berkomunikasi, tetapi
kita melihat kabut asap itu sebagai tanda telah terjadi kebakaran hutan. Tanda
semacam itu ditelaah dalam semiotika signifikasi.
Berdasarkan
pada dua jenis semiotika itu, yang didasarkan pada dua jenis tanda, pada
hakikatnya sudah terpetakan ruang lingkup semiotika. Dari sudut itu, semiotika
dapat disimpulkan sebagai suatu ilmu yang mempelajari semiosis. Batasan
semiotika, yang bersifat sangat umum ini, menonjolkan kegiatan yang dilakukan
dalam semiotika, yakni meneliti bagaimana tanda dipergunakan di dalam semua
bidang yang di sana tanda ditemukan. Dengan kata lain, semiotika adalah juga
suatu pendekatan ilmiah dalam beragam bidang penelitian. Eco (1976:9—14)
menyajikan senarai bidang riset semiotika: semiotika hewan (zoosemiotics); tanda bebauan (olfactory); komunikasi sentuhan (tactile); codes of taste; paralinguistik;
semiotika medis; kinesik dan proksemik; kode musikal; formalized languages;
bahasa tulis, abjad purba, kode rahasia; bahasa alami; komunikasi visual; sistem
tentang objek-objek (mengenai objek yang dipergunakan sebagai piranti
komunikasi, seperti arsitektur); struktur alur; teori teks; kode budaya; teks
estetis; komunikasi massa; retorika. Berbagai bidang kajian semiotika tersebut
akan dipaparkan lebih jauh di dalam sebuah bab khusus.
1.2 Semiotika dan Linguistik Struktural
Semiotika yang disajikan dalam buku ini dapat
disebut semiotika struktural. Di dalamnya sudah tentu tersaji beragam konsep
dari dua ranah itu, semiotika dan linguistik struktural yang dimulai oleh
Ferdinand de Saussure. Pengaruh Saussure memang menjadi faktor pertama yang
membuat semiotika berhubungan sangat erat dengan linguistik struktural. Sebagai
perintis ilmu bahasa struktural, nama Saussure berkaitan erat dengan semiotika.
Dapat dikatakan bahwa muara semiotika modern yang berkembang di Eropa adalah
pemikiran beliau sebagaimana tertuang dalam bukunya Pengantar Linguistik Umum. Di dalam buku hasil kompilasi para
muridnya itu, Saussure berbicara mengenai keberadaan semiologi—ia menggunakan
istilah semiologi.
Pengaruh beliau tidak terbatas hanya pada sebuah
pernyataan tentang keberadaan sebuah ilmu, yang ia sebut semiologi itu. Banyak
konsep linguistik struktural, yang ia paparkan di dalam Pengantar Linguistik Umum, terbukti kemudian dipergunakan orang
dalam menelaah beragam fenomena yang dilihat sebagai tanda. Dapat disebut di
sini beberapa di antaranya yang paling penting, yaitu langue, parole, oposisi
biner, tanda, hubungan paradigmatik, hubungan sintagmatik.
Untuk menunjukkan hubungan semiotika dan linguistik
struktural Saussure, kita bahas sedikit bagaimana konsep tanda Saussure bukan
buah pikiran yang berhenti di buku Pengantar
Linguistik Umum. Bertumpu pada konsepnya mengenai tanda, Saussure
mendefinisikan bahasa sebagai sistem tanda. Maksudnya, bahasa terjadi dari berbagai
tanda, yang terkait satu sama lain sehingga terbentuk sistem, seperti sistem
kosa kata, sistem pembentukan kata, sistem kalimat, dan sebagainya. Kemudian,
secara keseluruhan semua sistem dalam bahasa yang bersangkutan membentuk sistem
yang lebih besar, yaitu sebuah sistem tanda bahasa. Jadi, manakala berbicara
tentang bahasa, kita dapat mempelajarinya sebagai sistem tanda.
Maka, ketika mempelajari bahasa sebagai sistem
tanda, orang mempergunakan berbagai konsep yang sudah disebutkan (parole, langue, dan seterusnya). Begitulah yang dilakukan oleh mereka yang
menerapkan linguistik Saussure. Jadi, bahkan sudah sejak Pengantar Linguistik Umum, kaitan antara semiotika dengan konsepsi
struktural Saussure mengenai bahasa terlihat jelas sekali.
Kejelasan itu bertambah terang apabila kita
mengikuti perkembangan berbagai konsep Saussure tadi di tangan seorang
semiotikus Perancis, Roland Barthes. Dalam bukunya Elemen-elemen Semiologi (edisi pertama terbit pada 1964 dalam
bahasa Perancis), Barthes menguraikan kembali konsep Saussure tentang bahasa
dari perspektif semiotika. Dengan melakukan hal itu, ia tidak berbicara tentang
bahasa belaka, tetapi semua fenomena yang dapat dikaji sebagai sistem tanda. Di
dalam bukunya yang lain, Mythologies
(edisi pertama dalam bahasa Perancis terbit pada 1957), Barthes menerapkan
pemikirannya dalam Elemen-elemen
Semiologi terhadap berbagai fenomena budaya modern, seperti gulat
profesional, anggur merah, dan tari bugil. Bagian kedua Mythologies menganalisis secara semiotis kulit muka majalah Paris Match untuk menjelaskan konsep
mitos. Adapun yang ia maksudkan dengan mitos adalah tataran penandaan konotasi,
yang bertumpu pada tataran penandaan yang telah ada, yaitu bahasa; kita akan
membahas pemikiran Barthes tentang mitos dalam bab mengenai konotasi, tetapi untuk
sementara cukuplah dikatakan tanpa ragu bahwa semiologi (atau semiotika)
Barthes berutang budi kepada linguistik struktural Saussure.
Faktor kedua yang menjadikan semiotika dan
linguistik struktural berkaitan erat ialah fakta bahwa dibandingkan dengan
bidang ilmu lain yang juga mempelajari sistem tanda, linguistik adalah disiplin
ilmiah yang paling berkembang. Lagi pula, sebagaimana dikatakan oleh Saussure, bahasa—objek
yang ditelaah dalam linguistik—merupakan sistem tanda paling penting di antara
semua sistem tanda yang dikenal manusia (Chandler, 2007:5).
Hal terakhir itu dikatakan juga oleh Al-Sharafi
(2004:82) dengan cara sedikit berbeda. Al-Sharafi menyatakan bahwa semiotika
dan linguistik memiliki hubungan istimewa karena di antara semua sistem
komunikasi—atau sistem penandaan—bahasa adalah yang paling sistematis. Selain
itu, bahasa juga merupakan sistem tanda yang tingkat konvensionalitasnya paling
maju. Sesungguhnyalah, tidak ada sistem tanda lain yang secanggih bahasa.
Kematangan linguistik struktural sebagai sebuah
disiplin ilmiah dan keutamaan bahasa sebagai sistem tanda membuat linguistik
struktural jadi sumber bagi perkembangan semiotika, utamanya semiotika yang
berkembang di Eropa. Mengenai hal itu, Saussure sendiri sudah mengatakan dengan
lugas bahwa bahasa adalah sistem ekspresi paling menyemesta dan paling
kompleks. Selanjutnya, Saussure berpandangan bahwa linguistik merupakan model
bagi semua semiotika meski bahasa (yang dipelajari dalam linguistik) hanya
salah satu sistem semiologis (Saussure, 1959:68).
Demikianlah, dua faktor tersebut menjadikan
semiotika, khususnya semiotika di Eropa, tidak bisa dilepaskan dari linguistik
struktural yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
1.3 KEGUNAAN
SEMIOTIKA
Secara umum, belajar tentang semiotika menjadikan
kita menyadari bahwa kita tidak pernah berhadapan langsung dengan realitas.
Sesuatu yang lazim disebut realitas itu datang kepada kita melalui bantuan
tanda; tanda mengantarai kita dan realitas. Sangatlah penting bagi siapapun
saat ini untuk menyadari peran tanda sebagai medium. Berdasarkan kesadaran itu,
kita tidak akan menerima begitu saja tiap realitas yang dihadapi. Sebab dalam
kenyataannya, manusia sebagai pengguna tanda berperan pula dalam proses
terbentuknya realitas. Kita sebagai pihak yang memproduksi dan mengosumsi tanda
punya kuasa untuk ikut membangun realitas lewat tanda. (Chandler, 2007:10—11)
Memproduksi dan mengonsumsi tanda itu selalu membutuhkan
kode (dibahas nanti di bab tentang kode). Ketika orang memproduksi tanda, ia
mengirimkan tanda dengan makna tertentu. Makna apa yang sesungguhnya dikirimkan
bergantung pada kode yang dipergunakan. Demikian pula, ketika orang mengonsumsi
tanda, ia memberi makna pada tanda. Makna apa yang nyatanya ia hadirkan,
sepenuhnya bergantung pada kode yang ia aktifkan. Dengan melugaskan kode yang
diterapkan pada saat berhadapan dengan tanda, kita menjalankan fungsi penting
tanda, yaitu wahana menciptakan denaturalisasi (Chandler, 2007:11).
Lebih jauh tentang fungsi tanda, ketika tanda
dipergunakan, ia membangun suatu realitas, yang sengaja dibuat dengan maksud
tertentu. Kesengajaan itu berpuncak dengan disajikannya ideologi. Maka, tanda
juga berfungsi sebagai wahana penyebaran ideologi.
Sehubungan dengan itu, semiotika mempersiapkan kita
agar awas akan muatan ideologis yang diusung tanda. Hal itu penting bagi kita
yang berada dalam budaya visual saat ini. Itulah sebabnya Chandler (2007:11)
menyatakan bahwa menolak semiotika berarti menyerahkan kontrol atas dunia makna
dalam kehidupan kita kepada orang lain.
RUJUKAN
Al-Sharafi,
Abdul Gabbar Muhammed. 2004. Textual
Metonymy: A Semiotic Approach. New York: Palgrave MacMillan.
Chandler,
Daniel. 2007. Semiotics: The Basic.
London: Routledge. Edisi ke-2.
Deely,
John. 1990. Basic of Semiotics.
Bloomington: Indiana University Press.
Eco,
Umberto. 1976. A Theory of Semiotics.
Bloomington: Indiana University Press.
Saussure,
Fedinand de. 1993. Pengantar Linguistik
Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Penerjemah: Rahayu S.
Hidayat
Sebeok,
Thomas A. 2001. Signs: An Introduction to
Semiotics. Toronto: University of Toronto Press. Edisi ke-2.
Hall,
Sean. 2007. This Means his, This Means
That. London: Laurence King.
[Ini semoga jadi bab kesatu buku saya.]
Daya Tarik Semiotika
Kalau mau jujur, sedikit saja ancangan/teori/metode atau disiplin ilmiah yang menarik bagi banyak kalangan. Ambil contoh psikologi; tentu saja, psikologi menarik bagi mereka yang belajar psikologi atau disiplinnya bersinggungan langsung dengan ilmu itu. Namun, psikologi tetap saja sesuatu yang tidak terlalu menarik bagi, misalnya, mereka yang belajar biologi. Atau ilmu sastra; ilmu ini hanya menarik bagi pembelajar ilmu sastra. Bagi pembelajar antropologi, ilmu sastra sesuatu yang barangkali membosankan. Dalam hal ini, peribahasa “rumput di halaman tetangga lebih hijau” tidak berlaku.
Di sinilah semiotika unggul. Sebab semiotika menarik bagi semua disiplin ilmu. Bagaimana mungkin? Setidak-tidaknya ada dua hal yang menyebabkan semiotika menarik bagi siapapun. Pertama, faktanya adalah telah terbukti semiotika memiliki wilayah kajian aplikatif yang mencakup semua disiplin. Mudah-mudahan seluruh semiotika terapan itu akan saya tuliskan dalam salah satu artikel di blog ini. Setakat ini cukuplah kiranya disebutkan beberapa, antara lain biologi, arsitektur, kedokteran, sosiologi, linguistik, ilmu sastra, antropologi, psikologi, psikoanalisis, kajian media, komunikasi.
Kedua, hakikat semiotika sebagai ilmu yang menelaah produksi dan interpretasi tanda membuatnya sudah menarik sejak awal. Hakikat itu membawa semiotika pada pemahaman bahwa sesuatu yang disebut realitas itu tidak lain dari representasi. Artinya, realitas selalu merupakan versi seseorang atau suatu lembaga mengenai perkara yang tersaji sebagai realitas itu. Pada gilirannya, bisa kita pahami bila semiotika mengatakan bahwa apa yang dianggap realitas bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain.
Dengan kata lain, semiotika menyadarkan kita bahwa tanda yang dipakai untuk merepresentasi sesuatu senantiasa rentan terhadap manipulasi dan rekayasa. Contoh paling gampang dan kasar ialah iklan. Bila obat X diiklankan sanggup mengobati berbagai jenis penyakit, hal itu hanya suatu ikhtiar representasi, belum menjadi kenyataan sejati. Iklan itu bisa bohong belaka sebagaimana didefinisikan oleh Umberto Eco mengenai hakikat tanda.
Dalam contoh tadi saya memakai kata “kasar”. Maksudnya, iklan semacam itu sangat mudah diblejeti kebohongannya (jika memang begitu). Celakanya, sangat banyak produksi tanda (alias representasi) yang secara sangat halus bisa mengecoh. Tak terbilang iklan televisi atau cetak yang tidak menyebutkan sama sekali kehebatan produknya, tetapi hanya menyajikan gambar dan/atau tulisan yang memikat, lucu, dan logis. Justru dengan daya pikat itu, kelucuan itu, iklan tersebut sanggup menjerat konsumen untuk memiliki sikap yang sejalan dengan maksud produsen. Bujuk rayu halus seperti itu jauh lebih mujarab ketimbang iklan yang jelas-jelasan.
Begitulah, dengan berbekal semiotika kita bisa “melawan” representasi apapun, menguraikannya hingga rinci, untuk menguasai tanda alih-alih dikuasai tanda.
(Artikel pindahan dari blog saya pengantar-semiotika.blogspot.com)
Apakah Semiotika?
Singkat kata, semiotika itu ilmu yang mempelajari tanda.
Orang Indonesia mestinya suka semiotika karena budaya kita sangat sering menggunakan tanda. Kalau mimpi gigi tanggal, itu ditafsirkan akan ada keluarga wafat. Gigi yang tanggal itu dianggap tanda kematian. Banyak peristiwa yang oleh orang Indonesia diberi tafsiran sehingga peristiwa itu menjadi tanda; suara burung hantu di malam hari, rasa gatal di tangan, atau mata yang berdenyut dianggap tanda dengan makna tertentu. Malahan penggemar togel menggunakan juga tanda untuk menebak nomor yang bakal keluar (mereka bahkan punya buku primbon mimpi lengkap dengan artinya).
Tanda memang ada di mana-mana. Dalam mimpi ada tanda (paling tidak begitu kata Freud). Begitu bangun tidur kita sudah ketemu tanda (jam dinding, kokok ayam, air liur yang nempel di bantal, belek, seprei yang kusut, dentingan dari dapur). Setelah mandi kembali kita ketemu tanda (celana, baju, sepatu, pena, buku, koran, dering telepon, berita teve/radio). Di tempat kerja juga banyak sekali tanda (debu di meja, sejawat yang datang dengan motor alih-alih mobil yang biasa ia kendarai, atasan yang belum juga senyum, kopi yang terlalu manis, seorang rekan kerja tidak ngantor). Saat istirahat siang, lagi-lagi kita menemukan tanda (menu kesenangan Anda tidak ada, pengamen yang kelewat banyak, rambu-rambu lampu merah tidak nyala, sirine rombongan pejabat, seorang gadis cantik sibuk menceti tombol komunikator, pasangan Anda kirim sms mengingatkan acara nanti malam). Pokoknya, kita tidak bisa lepas dari tanda.
Sebab tanda adalah segala sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Ambil contoh sms pasangan Anda yang mengingatkan bahwa nanti malam Anda berdua janjian nonton: "Bang, ntar malem jgn lupa ya". Sms itu bisa jadi tanda bahwa Anda mungkin lupa dan peringatan itu bukan tanpa alasan. Barangkali Anda pelupa atau pernah lupa janji atau filmnya sangat menarik bagi pasangan Anda.
Pengertian tanda seperti itu dikatakan oleh Charles Sanders Peirce, satu dari dua pelopor semiotika modern. Selengkapnya ia mengatakan tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang merujuk pada sesuatu yang lain berdasarkan landasan tertentu.
Yang lebih menarik ialah definisi tanda menurut Umberto Eco. Menurut Eco tanda adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Definisi yang menarik, kan? Andaikan pacar Anda berkata, "Aku sayang banget sama kamu." Kalimat itu mungkin ungkapan hati yang jujur, tapi bisa juga itu cuma rayuan gombal alias bo'ong besar. Sebagai sebuah tanda, kalimat tadi bisa dipakai untuk berbohong.
Hampir semua tanda memang dapat dipakai untuk menyembunyikan kebenaran. Hampir semua? Ya, karena ada sejenis tanda yang rasanya mustahil direkayasa. Tanda itu disebut simptom, yaitu gejala biologis yang ditampakkan tubuh manusia. Bercak merah dan berak-berak bisa jadi simptom demam berdarah.
Karena kita senantiasa hidup dalam lautan tanda, memahami seluk-beluk tanda sangat bermanfaat. Dan karena tanda ada di mana-mana, apapun profesi yang anda geluti, pemahaman tentang semiotika bakal membantu Anda menguakkan tabir tanda. Ya, dengan semiotika Anda bisa menyibakkan makna sebenarnya yang terletak di balik tanda. Paling tidak, Anda tahu sekarang bahwa setiap saat Anda bisa dibohongi dan ditipu. Simaklah baik-baik tanda yang sengaja atau tidak sengaja dibuat orang berinteaksi dengan Anda. Paling tidak itulah manfaat belajar semiotika bagi kehidupan sehari-hari kita.
(Artikel ini saya pindahkan dari blog lain yang saya miliki, yaitu pengantar-semiotika.blogspot.com.)
Subscribe to:
Posts (Atom)