Intertekstualitas dalam Iklan


Salah satu konsep dalam semiotika adalah intertekstualitas. Intinya, suatu teks yang kita baca menautkan dirinya dengan teks lain. Teks lain itu bisa sangat penting atau cukup penting atau kurang penting untuk memahami teks yang sedang kita baca. Iklan di atas memanfaatkan intertekstualitas. Kira-kira, teks yang lain itu sangat atau cukup atau kurang penting untuk memaknai iklan itu? Yang dimaksud dengan teks, tentu saja, tidak harus teks verbal, tetapi juga teks dengan medium lain.

Unsur-unsur Semiotika

Salah seorang tokoh semiotika adalah Roland Barthes, akademisi Perancis yang tewas karena terlanggar mobil. Beliau banyak menulis buku dan artikel (yang belakangan diterbitkan juga sebagai buku). Salah satu bukunya yang sudah menjadi rujukan klasik adalah Elements of Semiology (terjemahannya dalam bahasa Inggris; aslinya--tentu saja--dalam bahasa Perancis).

Buku-buku Barthes sudah lumayan banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Mudah-mudahan hal itu membantu kemajuan studi ilmu-ilmu budaya dan/ atau humaniora Indonesia.

Buku Elemen-elemen Semiologi sendiri dipublikasikan, bagi saya, tanpa pertimbangan lain selain keinginan agar dapat dibaca oleh banyak orang.

Sekadar saran: Lebih gampang memahami Elemen-elemen Semiologi kalau sudah membaca Pengantar Linguistik Umum Ferdinand de Saussure.

1. PENDAHULUAN


If you go into a bookshop and ask them where to find a book on semiotics you are likely to meet with a blank look.
(Daniel Chandler)

Daniel Chandler benar. Seperti ia katakan, tanyakan buku semiotika di sembarang toko buku; Anda akan dijawab dengan pertanyaan yang diucapkan dengan muka bingung, “Semiotika?” Maka, seperti sarannya, lebih baik tidak bertanya; cari sendiri saja. Akan Anda cari di rak mana? Soalnya, buku semiotika bisa ditaruh di rak manapun. Beruntung jika tersedia komputer berisi data buku, termasuk keterangan di rak nomor berapa mereka menaruh buku yang Anda cari. Masalah Anda selesai.
Kenyataannya memang semiotika tidak banyak diketahui orang awam. Tidak banyak mahasiswa—bahkan dosen—tahu apa itu semiotika. Lebih parah dari itu, mendengar kata semiotika pun barangkali mereka belum pernah. Sampai saat buku ini ditulis, semiotika dikenal di lingkungan yang cukup terbatas. Bandingkan, misalnya, dengan sosiologi, yang siswa sekolah menengah pun mengetahuinya.
Kenyataan itu menjadi suatu paradoks karena sesungguhnya semiotika dapat diterapkan di semua disiplin ilmu. Bahkan kerap dikatakan bahwa semiotika itu bersifat imperialis karena dapat memasuki bidang ilmu apa saja. Lebih jauh, dalam pengantar untuk salah satu bukunya, John Deely (1990:ix) mencatat bahwa terjadi peningkatan minat untuk melaksanakan penelitian semiotika. Bilamana keadaan seperti itu terjadi hampir seperempat abad lalu, tentunya saat ini—pertengahan Oktober 2014—perkembangan semiotika di kalangan akademis sudah jauh melampauinya.
1.1 Pengertian Semiotika
Pertanyaan tentang apakah semiotika itu dapat dijawab dengan sangat singkat bahwa ia adalah ilmu yang mempelajari tanda. Kegiatan yang dilakukan dengan semiotika memang tertuju pada tanda. Bilamana kita memandang sesuatu sebagai tanda, kita mengenakan kacamata semiotika. Akan tetapi, jawaban singkat itu, karena singkatnya, memunculkan pertanyaan susulan, yaitu apakah yang dimaksud dengan tanda.
Pertanyaan itu belum akan dijawab tuntas dalam bab ini. Pengertian tanda akan dipaparkan dalam bab berikutnya. Bab yang sedang Anda baca ini akan berbicara sedikit saja mengenai apa itu tanda demi membawa Anda masuk ke gerbang semiotika.
Nah, apakah tanda? Secara umum dapat dikatakan bahwa tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain; tanda mengacu pada sesuatu yang lain. Awan gelap menjadi tanda untuk hujan yang segera turun; lampu merah di rambu-rambu lalu lintas berarti Anda harus menginjak pedal rem; dan kata kursi mewakili objek yang lazim kita duduki. Dalam arti itu, seorang duta besar adalah juga tanda karena dia mewakili negaranya.
Setiap hari kita bisa menemukan tanda—dalam jumlah banyak. Sejak bangun tidur sampai dengan naik ke pembaringan pada malamnya. Alarm yang berbunyi pada pagi hari mengisyaratkan bahwa hari sudah pukul 6.00 WIB, misalnya. Bunyi klakson kendaraan di belakang Anda dalam perjalanan ke sekolah, kampus, atau kantor, mewakili pesan tertentu dari pengendaranya. Bendera kertas kuning yang Anda lewati memberi tahu ada orang wafat di situ. Sepanjang perjalanan tanda bergiliran menyapa Anda. Pada waktu terlelap di ranjang pun, kita bisa bersentuhan dengan tanda. Bukankah acapkali kita menafsirkan mimpi? Mimpi tanggal gigi diartikan akan ada sanak keluarga meninggal dunia. Demikianlah, tanda ada di mana-mana dan dalam wujud yang beragam.
Benda-benda yang disikapi sebagai tanda itu merupakan objek kajian semiotika. Perhatikan bahwa semua tanda yang tadi disebutkan, ditemukan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu ketika kita berinteraksi dengan orang lain di dalam masyarakat, secara langsung dan tidak langsung; paling tidak, sebagian paling besarnya terdapat dalam interaksi sosial. Bendera kuning tadi, misalnya, mengisyaratkan kepada siapa pun yang melihatnya bahwa seorang anggota masyarakat di situ sudah dipanggil Yang Mahakuasa. Masyarakat di situ dapat berkunjung untuk mengungkapkan belasungkawa dan simpati; bahkan memberikan bantuan uang dan/ atau tenaga kepada keluarga yang mendapat musibah.
Memang, terdapat segolongan tanda yang tergolong prasosial, yakni tanda-tanda yang kita dapati dalam mimpi. Dalam hal ini, tanda prasosial itu lebih disikapi sebagai tanda yang tidak pertama-tama menghubungkan kita dengan orang lain dalam konteks sosial. Tanda-tanda serupa itu dipandang sebagai fenomena semiotis yang personal—bagian dari suatu psikologi pribadi. Ia menghubungkan dua hal di dalam diri seorang individu. Namun, terlepas dari tanda yang berada di wilayah psikologi pribadi itu—begitulah kira-kira jenis tanda itu bisa dikategorikan, seumumnya tanda memiliki kodrat sosial.
Oleh fakta itu, sangat beralasan pandangan Ferdinand de Saussure mengenai semiologi (istilah semiotika dan semiologi kita pergunakan dalam pengertian yang sama). Menurut Saussure, semiotika adalah ilmu yang menelaah peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial; ilmu ini meneliti hakikat tanda dan hukum yang mengatur tanda (Saussure,1993:82). Jelas bahwa Saussure melihat tanda sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial manusia. Di dalam latar kehidupan sosial itu, tanda menjalankan perannya. Dengan kata lain, tanda memiliki fungsi dan makna sosial. Melanjutkan logika itu, masuk akal bilamana kita katakan bahwa semiotika, yang mempelajari tanda sebagaimana baru saja dipaparkan, memiliki juga fungsi dan makna sosial.
Tentu saja, Ferdinand de Saussure bukan satu-satunya orang yang pernah merumuskan definisi mengenai semiotika (atau semiologi). Sesungguhnyalah, terdapat banyak definisi tentang semiotika. Bukan hanya banyak jumlahnya, melainkan juga beragam. Kita tidak dapat menelusuri seluruh definisi semiotika, yang bermacam-macam itu. Lebih baik kita pelajari beberapa definisi yang kiranya telah disepakati secara umum. Salah satu di antaranya sudah dipaparkan, yaitu penjelasan Saussure tentang semiotika tadi.
Ahli semiotika lain, yang muncul lebih kemudian dari Saussure, yang juga mengajukan definisi semiotika adalah Umberto Eco. Bagi Eco, semiotika menelaah segala sesuatu yang dapat ditanggapi sebagai tanda. Definisi itu hampir tidak berbeda dengan definisi singkat mengenai semiotika di awal bab ini (semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda). Namun, ada perbedaan penting. Eco menekankan peran subjek yang memberikan tanggapan terhadap sesuatu sehingga sesuatu itu menjadi tanda, bukan lagi objek yang tanpa arti.
Ambil contoh berikut ini. Di halaman terlihat daun kering tersebar di bawah pohon rambutan. Pemandangan itu dapat saja ditanggapi secara alamiah. Jika hal itu dilakukan, Anda bisa membatin, “Oh, hari ini banyak daun kering.” Selesai. Akan tetapi, jika Anda melihat dedaunan kuning tua itu sebagai mewakili sesuatu yang lain, ia menjadi tanda. Misalnya, mungkin Anda berpikir, “Ah, si Joko mangkir hari ini. Kalau tidak, pasti halaman bersih dari dedaunan kering itu.” Di sini Anda menanggapi daun kering itu sebagai sebuah tanda bahwa Joko, petugas kebersihan, tidak masuk kerja. Perhatikanlah betapa dedaunan kering itu dapat merupakan fakta objektif belaka, tetapi dapat pula menjadi fakta semiotis; hal itu sepenuhnya bergantung pada Anda, apakah akan melihatnya sebagai objek belaka atau sebagai tanda.
Jika kita menanggalkan faktor manusia dalam definisi semiotika, pemahaman kita tentang hakikat semiotika lantas bergantung pada konsep tanda. Maksudnya, jika kita mendefinisikan semi­otika secara singkat, seperti sudah kita lakukan (semiotika ada­lah ilmu yang mempelajari tanda), kita terpaksa memindahkan titik perhatian kepada konsep tanda. Versi lain untuk mendefi­nisikan semiotika diajukan oleh Sean Hall (2007:5), yang menya­takan semiotika adalah teori tanda. Hall tidak menguraikan lebih jauh definisinya selain mengikutinya dengan informasi mengenai istilah semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani semeitikos ‘para penafsir tanda’. Dengan definisi ini pemahaman kita ten­tang semiotika ditunda—hal itu pula yang dilakukan oleh Hall. Nyatanya, bagian selanjutnya dalam buku Hall memang memba­has tanda, bukan pengertian semiotika.
Jelaslah bahwa definisi semiotika mau tak mau bertumpu pada tanda beserta definisinya. Bahwa tanda merupakan tumpuan untuk memahami semiotika tampak dari cara Thomas A. Sebeok—nama besar lain dalam semiotika—menyatakan apa itu semiotika.
Sebeok (2001:3) mengatakan bahwa tanda memungkinkan ma­nu­­sia (1) mengisyaratkan keberadaannya, (2) mengomunikasi­kan pesan, dan (3) membangun model pada informasi yang diper­olehnya dari dunia eksternal. Selanjutnya, beliau menyata­kan “semiotika adalah ilmu yang mempelajari fungsi-fungsi itu”. Tampak betapa Sebeok mengemukakan definisinya dengan titik tolak tanda beserta fungsi-fungsinya.
Sebagaimana akan diuraikan dalam bab mengenai tanda dan jenis tanda, definisi semiotika sangat bergantung pada pandangan tentang hakikat tanda dan seluk-beluk jenis tanda. Sehubungan dengan hal itu, Eco (1976:8—9, 14—16) membedakan dua macam semiotika, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Kita membutuhkan pembedaan itu karena penggunaan tanda—disebut semiosis—memang terpola ke dalam dua proses yang berbeda satu sama lain.
Pembedaan semiotika yang diajukan oleh Umberto Eco itu didasarkan pada jenis tanda. Kita akan menguraikan masalah jenis tanda dalam bab terpisah. Di sini cukup dinyatakan bahwa terdapat dua jenis tanda, yang masing-masing mendasari semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Pertama, terdapat segolongan tanda yang memang diniatkan oleh penggunanya sebagai piranti untuk berkomunikasi. Hal ini terjadi ketika kita menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi tertentu kepada orang lain. Pada saat seseorang berkata: “Saya mau ke pasar”, ia berniat untuk memberi tahu kepada lawan bicaranya bahwa ia ingin pergi ke pasar. Kalimat itu merupakan tanda yang disengaja sebagai piranti berkomunikasi secara disadari. Semiotika yang menelaah penggunaan tanda (semiosis) seperti itu disebut semiotika komunikasi.
Selain golongan tanda yang mendasari semiotika komunikasi, terdapat pula segolongan tanda lain yang sesungguhnya tidak diniatkan untuk berkomunikasi. Golongan tanda ini mendasari semiotika signifikasi. Dalam semiotika signifikasi, sebagaimana sudah dikatakan, tanda hadir tanpa diawali oleh adanya niat untuk berkomunikasi. Dalam hal ini, sesuatu menjadi tanda karena penerima tanda menganggapannya sebagai tanda. Karena seseorang (atau sekelompok orang) menganggap sesuatu sebagai tanda, terjadilah signifikasi atau penandaan atau semiosis. Kabut asap yang kerap menyelimuti beberapa kota di Indonesia bisa dijadikan contoh. Para pembakar hutan, yang mengakibatkan serbuan asap itu, tentu tidak bermaksud menyebarkan asap sebagai piranti berkomunikasi, tetapi kita melihat kabut asap itu sebagai tanda telah terjadi kebakaran hutan. Tanda semacam itu ditelaah dalam semiotika signifikasi.
Berdasarkan pada dua jenis semiotika itu, yang didasarkan pada dua jenis tanda, pada hakikatnya sudah terpetakan ruang lingkup semiotika. Dari sudut itu, semiotika dapat disimpulkan sebagai suatu ilmu yang mempelajari semiosis. Batasan semiotika, yang bersifat sangat umum ini, menonjolkan kegiatan yang dilakukan dalam semiotika, yakni meneliti bagaimana tanda dipergunakan di dalam semua bidang yang di sana tanda ditemukan. Dengan kata lain, semiotika adalah juga suatu pendekatan ilmiah dalam beragam bidang penelitian. Eco (1976:9—14) menyajikan senarai bidang riset semiotika: semiotika hewan (zoosemiotics); tanda bebauan (olfactory); komunikasi sentuhan (tactile); codes of taste; paralinguistik; semiotika medis; kinesik dan proksemik; kode musikal; formalized languages; bahasa tulis, abjad purba, kode rahasia; bahasa alami; komunikasi visual; sistem tentang objek-objek (mengenai objek yang dipergunakan sebagai piranti komunikasi, seperti arsitektur); struktur alur; teori teks; kode budaya; teks estetis; komunikasi massa; retorika. Berbagai bidang kajian semiotika tersebut akan dipaparkan lebih jauh di dalam sebuah bab khusus.
1.2 Semiotika dan Linguistik Struktural
Semiotika yang disajikan dalam buku ini dapat disebut semiotika struktural. Di dalamnya sudah tentu tersaji beragam konsep dari dua ranah itu, semiotika dan linguistik struktural yang dimulai oleh Ferdinand de Saussure. Pengaruh Saussure memang menjadi faktor pertama yang membuat semiotika berhubungan sangat erat dengan linguistik struktural. Sebagai perintis ilmu bahasa struktural, nama Saussure berkaitan erat dengan semiotika. Dapat dikatakan bahwa muara semiotika modern yang berkembang di Eropa adalah pemikiran beliau sebagaimana tertuang dalam bukunya Pengantar Linguistik Umum. Di dalam buku hasil kompilasi para muridnya itu, Saussure berbicara mengenai keberadaan semiologi—ia menggunakan istilah semiologi.
Pengaruh beliau tidak terbatas hanya pada sebuah pernyataan tentang keberadaan sebuah ilmu, yang ia sebut semiologi itu. Banyak konsep linguistik struktural, yang ia paparkan di dalam Pengantar Linguistik Umum, terbukti kemudian dipergunakan orang dalam menelaah beragam fenomena yang dilihat sebagai tanda. Dapat disebut di sini beberapa di antaranya yang paling penting, yaitu langue, parole, oposisi biner, tanda, hubungan paradigmatik, hubungan sintagmatik.
Untuk menunjukkan hubungan semiotika dan linguistik struktural Saussure, kita bahas sedikit bagaimana konsep tanda Saussure bukan buah pikiran yang berhenti di buku Pengantar Linguistik Umum. Bertumpu pada konsepnya mengenai tanda, Saussure mendefinisikan bahasa sebagai sistem tanda. Maksudnya, bahasa terjadi dari berbagai tanda, yang terkait satu sama lain sehingga terbentuk sistem, seperti sistem kosa kata, sistem pembentukan kata, sistem kalimat, dan sebagainya. Kemudian, secara keseluruhan semua sistem dalam bahasa yang bersangkutan membentuk sistem yang lebih besar, yaitu sebuah sistem tanda bahasa. Jadi, manakala berbicara tentang bahasa, kita dapat mempelajarinya sebagai sistem tanda.
Maka, ketika mempelajari bahasa sebagai sistem tanda, orang mempergunakan berbagai konsep yang sudah disebutkan (parole, langue, dan seterusnya). Begitulah yang dilakukan oleh mereka yang menerapkan linguistik Saussure. Jadi, bahkan sudah sejak Pengantar Linguistik Umum, kaitan antara semiotika dengan konsepsi struktural Saussure mengenai bahasa terlihat jelas sekali.
Kejelasan itu bertambah terang apabila kita mengikuti perkembangan berbagai konsep Saussure tadi di tangan seorang semiotikus Perancis, Roland Barthes. Dalam bukunya Elemen-elemen Semiologi (edisi pertama terbit pada 1964 dalam bahasa Perancis), Barthes menguraikan kembali konsep Saussure tentang bahasa dari perspektif semiotika. Dengan melakukan hal itu, ia tidak berbicara tentang bahasa belaka, tetapi semua fenomena yang dapat dikaji sebagai sistem tanda. Di dalam bukunya yang lain, Mythologies (edisi pertama dalam bahasa Perancis terbit pada 1957), Barthes menerapkan pemikirannya dalam Elemen-elemen Semiologi terhadap berbagai fenomena budaya modern, seperti gulat profesional, anggur merah, dan tari bugil. Bagian kedua Mythologies menganalisis secara semiotis kulit muka majalah Paris Match untuk menjelaskan konsep mitos. Adapun yang ia maksudkan dengan mitos adalah tataran penandaan konotasi, yang bertumpu pada tataran penandaan yang telah ada, yaitu bahasa; kita akan membahas pemikiran Barthes tentang mitos dalam bab mengenai konotasi, tetapi untuk sementara cukuplah dikatakan tanpa ragu bahwa semiologi (atau semiotika) Barthes berutang budi kepada linguistik struktural Saussure.
Faktor kedua yang menjadikan semiotika dan linguistik struktural berkaitan erat ialah fakta bahwa dibandingkan dengan bidang ilmu lain yang juga mempelajari sistem tanda, linguistik adalah disiplin ilmiah yang paling berkembang. Lagi pula, sebagaimana dikatakan oleh Saussure, bahasa—objek yang ditelaah dalam linguistik—merupakan sistem tanda paling penting di antara semua sistem tanda yang dikenal manusia (Chandler, 2007:5).
Hal terakhir itu dikatakan juga oleh Al-Sharafi (2004:82) dengan cara sedikit berbeda. Al-Sharafi menyatakan bahwa semiotika dan linguistik memiliki hubungan istimewa karena di antara semua sistem komunikasi—atau sistem penandaan—bahasa adalah yang paling sistematis. Selain itu, bahasa juga merupakan sistem tanda yang tingkat konvensionalitasnya paling maju. Sesungguhnyalah, tidak ada sistem tanda lain yang secanggih bahasa.
Kematangan linguistik struktural sebagai sebuah disiplin ilmiah dan keutamaan bahasa sebagai sistem tanda membuat linguistik struktural jadi sumber bagi perkem­bangan semiotika, utamanya semiotika yang berkembang di Eropa. Mengenai hal itu, Saussure sendiri sudah mengatakan dengan lugas bahwa bahasa adalah sistem ekspresi paling menyemesta dan paling kompleks. Selanjutnya, Saussure berpandangan bahwa linguistik merupakan model bagi semua semiotika meski bahasa (yang dipelajari dalam linguistik) hanya salah satu sistem semiologis (Saussure, 1959:68).
Demikianlah, dua faktor tersebut menjadikan semiotika, khususnya semiotika di Eropa, tidak bisa dilepaskan dari linguistik struktural yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
1.3 KEGUNAAN SEMIOTIKA
Secara umum, belajar tentang semiotika menjadikan kita menyadari bahwa kita tidak pernah berhadapan langsung dengan realitas. Sesuatu yang lazim disebut realitas itu datang kepada kita melalui bantuan tanda; tanda mengantarai kita dan realitas. Sangatlah penting bagi siapapun saat ini untuk menyadari peran tanda sebagai medium. Berdasarkan kesadaran itu, kita tidak akan menerima begitu saja tiap realitas yang dihadapi. Sebab dalam kenyataannya, manusia sebagai pengguna tanda berperan pula dalam proses terbentuknya realitas. Kita sebagai pihak yang memproduksi dan mengosumsi tanda punya kuasa untuk ikut membangun realitas lewat tanda. (Chandler, 2007:10—11)
Memproduksi dan mengonsumsi tanda itu selalu membutuhkan kode (dibahas nanti di bab tentang kode). Ketika orang memproduksi tanda, ia mengirimkan tanda dengan makna tertentu. Makna apa yang sesungguhnya dikirimkan bergantung pada kode yang dipergunakan. Demikian pula, ketika orang mengonsumsi tanda, ia memberi makna pada tanda. Makna apa yang nyatanya ia hadirkan, sepenuhnya bergantung pada kode yang ia aktifkan. Dengan melugaskan kode yang diterapkan pada saat berhadapan dengan tanda, kita menjalankan fungsi penting tanda, yaitu wahana menciptakan denaturalisasi (Chandler, 2007:11).
Lebih jauh tentang fungsi tanda, ketika tanda dipergunakan, ia membangun suatu realitas, yang sengaja dibuat dengan maksud tertentu. Kesengajaan itu berpuncak dengan disajikannya ideologi. Maka, tanda juga berfungsi sebagai wahana penyebaran ideologi.
Sehubungan dengan itu, semiotika mempersiapkan kita agar awas akan muatan ideologis yang diusung tanda. Hal itu penting bagi kita yang berada dalam budaya visual saat ini. Itulah sebabnya Chandler (2007:11) menyatakan bahwa menolak semiotika berarti menyerahkan kontrol atas dunia makna dalam kehidupan kita kepada orang lain.

RUJUKAN
Al-Sharafi, Abdul Gabbar Muhammed. 2004. Textual Metonymy: A Semiotic Approach. New York: Palgrave MacMillan.
Chandler, Daniel. 2007. Semiotics: The Basic. London: Routledge. Edisi ke-2.
Deely, John. 1990. Basic of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Saussure, Fedinand de. 1993. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Penerjemah: Rahayu S. Hidayat
Sebeok, Thomas A. 2001. Signs: An Introduction to Semiotics. Toronto: University of Toronto Press. Edisi ke-2.
Hall, Sean. 2007. This Means his, This Means That. London: Laurence King.
[Ini semoga jadi bab kesatu buku saya.]

Daya Tarik Semiotika


Kalau mau jujur, sedikit saja ancangan/teori/metode atau disiplin ilmiah yang menarik bagi banyak kalangan. Ambil contoh psikologi; tentu saja, psikologi menarik bagi mereka yang belajar psikologi atau disiplinnya bersinggungan langsung dengan ilmu itu. Namun, psikologi tetap saja sesuatu yang tidak terlalu menarik bagi, misalnya, mereka yang belajar biologi. Atau ilmu sastra; ilmu ini hanya menarik bagi pembelajar ilmu sastra. Bagi pembelajar antropologi, ilmu sastra sesuatu yang barangkali membosankan. Dalam hal ini, peribahasa “rumput di halaman tetangga lebih hijau” tidak berlaku.

Di sinilah semiotika unggul. Sebab semiotika menarik bagi semua disiplin ilmu. Bagaimana mungkin? Setidak-tidaknya ada dua hal yang menyebabkan semiotika menarik bagi siapapun. Pertama, faktanya adalah telah terbukti semiotika memiliki wilayah kajian aplikatif yang mencakup semua disiplin. Mudah-mudahan seluruh semiotika terapan itu akan saya tuliskan dalam salah satu artikel di blog ini. Setakat ini cukuplah kiranya disebutkan beberapa, antara lain biologi, arsitektur, kedokteran, sosiologi, linguistik, ilmu sastra, antropologi, psikologi, psikoanalisis, kajian media, komunikasi.

Kedua, hakikat semiotika sebagai ilmu yang menelaah produksi dan interpretasi tanda membuatnya sudah menarik sejak awal. Hakikat itu membawa semiotika pada pemahaman bahwa sesuatu yang disebut realitas itu tidak lain dari representasi. Artinya, realitas selalu merupakan versi seseorang atau suatu lembaga mengenai perkara yang tersaji sebagai realitas itu. Pada gilirannya, bisa kita pahami bila semiotika mengatakan bahwa apa yang dianggap realitas bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain.

Dengan kata lain, semiotika menyadarkan kita bahwa tanda yang dipakai untuk merepresentasi sesuatu senantiasa rentan terhadap manipulasi dan rekayasa. Contoh paling gampang dan kasar ialah iklan. Bila obat X diiklankan sanggup mengobati berbagai jenis penyakit, hal itu hanya suatu ikhtiar representasi, belum menjadi kenyataan sejati. Iklan itu bisa bohong belaka sebagaimana didefinisikan oleh Umberto Eco mengenai hakikat tanda.

Dalam contoh tadi saya memakai kata “kasar”. Maksudnya, iklan semacam itu sangat mudah diblejeti kebohongannya (jika memang begitu). Celakanya, sangat banyak produksi tanda (alias representasi) yang secara sangat halus bisa mengecoh. Tak terbilang iklan televisi atau cetak yang tidak menyebutkan sama sekali kehebatan produknya, tetapi hanya menyajikan gambar dan/atau tulisan yang memikat, lucu, dan logis. Justru dengan daya pikat itu, kelucuan itu, iklan tersebut sanggup menjerat konsumen untuk memiliki sikap yang sejalan dengan maksud produsen. Bujuk rayu halus seperti itu jauh lebih mujarab ketimbang iklan yang jelas-jelasan.

Begitulah, dengan berbekal semiotika kita bisa “melawan” representasi apapun, menguraikannya hingga rinci, untuk menguasai tanda alih-alih dikuasai tanda.

(Artikel pindahan dari blog saya pengantar-semiotika.blogspot.com)

Apakah Semiotika?


Singkat kata, semiotika itu ilmu yang mempelajari tanda.

Orang Indonesia mestinya suka semiotika karena budaya kita sangat sering menggunakan tanda. Kalau mimpi gigi tanggal, itu ditafsirkan akan ada keluarga wafat. Gigi yang tanggal itu dianggap tanda kematian. Banyak peristiwa yang oleh orang Indonesia diberi tafsiran sehingga peristiwa itu menjadi tanda; suara burung hantu di malam hari, rasa gatal di tangan, atau mata yang berdenyut dianggap tanda dengan makna tertentu. Malahan penggemar togel menggunakan juga tanda untuk menebak nomor yang bakal keluar (mereka bahkan punya buku primbon mimpi lengkap dengan artinya).

Tanda memang ada di mana-mana. Dalam mimpi ada tanda (paling tidak begitu kata Freud). Begitu bangun tidur kita sudah ketemu tanda (jam dinding, kokok ayam, air liur yang nempel di bantal, belek, seprei yang kusut, dentingan dari dapur). Setelah mandi kembali kita ketemu tanda (celana, baju, sepatu, pena, buku, koran, dering telepon, berita teve/radio). Di tempat kerja juga banyak sekali tanda (debu di meja, sejawat yang datang dengan motor alih-alih mobil yang biasa ia kendarai, atasan yang belum juga senyum, kopi yang terlalu manis, seorang rekan kerja tidak ngantor). Saat istirahat siang, lagi-lagi kita menemukan tanda (menu kesenangan Anda tidak ada, pengamen yang kelewat banyak, rambu-rambu lampu merah tidak nyala, sirine rombongan pejabat, seorang gadis cantik sibuk menceti tombol komunikator, pasangan Anda kirim sms mengingatkan acara nanti malam). Pokoknya, kita tidak bisa lepas dari tanda.

Sebab tanda adalah segala sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Ambil contoh sms pasangan Anda yang mengingatkan bahwa nanti malam Anda berdua janjian nonton: "Bang, ntar malem jgn lupa ya". Sms itu bisa jadi tanda bahwa Anda mungkin lupa dan peringatan itu bukan tanpa alasan. Barangkali Anda pelupa atau pernah lupa janji atau filmnya sangat menarik bagi pasangan Anda.

Pengertian tanda seperti itu dikatakan oleh Charles Sanders Peirce, satu dari dua pelopor semiotika modern. Selengkapnya ia mengatakan tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang merujuk pada sesuatu yang lain berdasarkan landasan tertentu.

Yang lebih menarik ialah definisi tanda menurut Umberto Eco. Menurut Eco tanda adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Definisi yang menarik, kan? Andaikan pacar Anda berkata, "Aku sayang banget sama kamu." Kalimat itu mungkin ungkapan hati yang jujur, tapi bisa juga itu cuma rayuan gombal alias bo'ong besar. Sebagai sebuah tanda, kalimat tadi bisa dipakai untuk berbohong.

Hampir semua tanda memang dapat dipakai untuk menyembunyikan kebenaran. Hampir semua? Ya, karena ada sejenis tanda yang rasanya mustahil direkayasa. Tanda itu disebut simptom, yaitu gejala biologis yang ditampakkan tubuh manusia. Bercak merah dan berak-berak bisa jadi simptom demam berdarah.

Karena kita senantiasa hidup dalam lautan tanda, memahami seluk-beluk tanda sangat bermanfaat. Dan karena tanda ada di mana-mana, apapun profesi yang anda geluti, pemahaman tentang semiotika bakal membantu Anda menguakkan tabir tanda. Ya, dengan semiotika Anda bisa menyibakkan makna sebenarnya yang terletak di balik tanda. Paling tidak, Anda tahu sekarang bahwa setiap saat Anda bisa dibohongi dan ditipu. Simaklah baik-baik tanda yang sengaja atau tidak sengaja dibuat orang berinteaksi dengan Anda. Paling tidak itulah manfaat belajar semiotika bagi kehidupan sehari-hari kita.

(Artikel ini saya pindahkan dari blog lain yang saya miliki, yaitu pengantar-semiotika.blogspot.com.)